Jangan Bohongi Allah

Cerita ini sebenarnya mengilustrasikan cara beribadah kita pada umumnya yang hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, sehingga hanya gerakan badan dan lisan tetapi hati dan pikiran tertuju kepada selain Allah. Secara hukum syariat, dengan bersyahadat, kemudian mengerjakan ibadah shalat, puasa, zakat dan haji, kita sudah cukup memenuhi syarat seorang Muslim. Tapi, apakah hanya sampai di situ? Sementara ibadah-ibadah itu, baik yang wajib maupun sunnah, hanya lapisan luar dari agama. Ada satu dimensi lagi yang bersifat batin, yaitu akhlak. Inilah inti dari agama. Sesuai sabda Nabi saw: “Aku diutus oleh Allah hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Shalat, misalnya, bukan semata-mata rutinitas yang diwajibkan, bukan pula sekedar gerakan tubuh dan ucapan lisan. Lebih dari itu, shalat ialah simbol ketaatan kita kepada Allah swt. Shalat adalah momen khusus kita berhadapan dengan Allah. Aktifitas ibadah ini tiada lain adalah untuk Allah semata. Dan kita mengucapkan sumpah ini di setiap awal shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah Tuhan semesta alam)”.

Tapi pada prakteknya, shalat kita ternyata bukan untuk Allah, tetapi untuk diri kita sendiri. Shalat menjadi sekedar cara menyelamatkan diri dari azab Allah. Shalat menjadi media mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Pahala ini adalah tiket kelak masuk surga.

Tak sedikit juga orang yang menjadikan shalat atau ibadah-ibadah lainnya jalan mencari keuntungan duniawi, seperti pujian dan harga diri. Akhirnya, semuanya kembali kepada kepentingan diri sendiri. Bukan kepada Allah.

Ini seperti juga digambarkan Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Madarij as-Salikin. Suatu hari, Khalifah Umar melihat seseorang shalat dengan menundukkan kepalanya seolah khusyu’. Lalu beliau berkata, “Hai tuan. Angkatlah kepalamu. Khusyu’ itu bukan pada tunduknya kepala. Khusyu’ itu di dalam qalbu!”

Akhirnya, seperti diilustrasikan cerita di atas, problem kita adalah sifat munafik di dalam diri. Lain di mulut lain di hati, lain pula di perbuatan. Apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan berbeda dengan apa yang sebenarnya ada di dalam qalbu. Kita bersumpah Laa-ilaaha-illa-llaah tetapi qalbu penuh dengan kecintaan pada hal-hal duniawi seperti harta, keluarga, pekerjaan, karir dan lain sebagainya. Hari-hari pun terisi penuh dengan pikiran, perasaan dan aktifitas mengejar itu semua.

Dalam shalat kita bersumpah “Sesungguhnya shalat dan ibadahku…untuk Allah,” tapi ternyata hasrat dalam qalbu adalah pahala, surga, pujian dari orang, dan lain sebagainya.

Dalam shalat kita pun bersaksi, “Sesungguhnya hidup dan matiku untuk Allah“. Tapi hampir semua waktu, tenaga, pikiran dan perasaan kita sehari-hari, dihabiskan untuk menuruti kehendak dan kesenangan diri, tidur, karir, jabatan, popularitas, kekayaan, rekreasi, hobi dan lain sebagainya. Hampir tidak ada sisa untuk Allah.

Munafik adalah sifat tercela, kepada siapapun, apalagi terhadap Allah. Tapi nyatanya, inilah akhlak kita selama ini kepada Allah. Badan menghadap tapi qalbu berpaling pada yang lain.

Munafik adalah penyakit ruhani. Menimpa siapa saja, tua, muda, kaya, miskin, pintar, bodoh. Tidak akan sembuh dengan tingginya ilmu, tuanya umur, apalagi banyaknya harta. Karena ia tidak terletak di tubuh atau pikiran, tapi di dalam hati/qalbu.


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
______
Rekomendasi