Jangan Korbankan Allah

Dengan kesadaran ini, maka bagi bapak para nabi itu, tidak ada yang patut dicintai, dipuja, dipatuhi dan diutamakan kecuali Allah sang Pencipta. Tidak ada pula yang pantas ditakuti kecuali Allah. Keyakinan ini begitu menghujam dalam dadanya, sehingga beliau berani mendakwahkan keyakinan ini kepada masyarakat di sekitarnya. Beliau siap menghadapi berbagai resiko termasuk dibakar hidup-hidup oleh penguasa Babilonia saat itu, Raja Namrud.

Kesadaran dan keyakinan ilahiah ini sebenarnya ada pada diri setiap manusia. Allah SWT berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka. Kemudian Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’.” (QS Al-A’raf, 7: 172).

Bagi para ulama dan pemikir muslim, ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk relijius. Dalam diri manusia sudah tertanam benih ketuhanan. Benih ini menjadi kekuatan bawah sadar manusia untuk mengenal Allah, menyembah dan patuh kepada-Nya. Benih ini bahkan sudah tertanam jauh sebelum manusia diturunkan ke muka bumi.

Namun ketika dilahirkan, manusia menjadi terpenjara dalam tubuhnya. Hari demi hari, umurnya bertambah. Ia semakin bisa menyesuaikan diri dalam tubuh dan berkompromi dengan kondisi lingkungannya. Ia mulai bisa menikmati asupan-asupan makanan, hangatnya pakaian, lembutnya belaian orangtua dan berbagai perhiasan dan hingar-bingar dunia lainnya. Ia semakin betah berada di alam dunia, lupa pada asal-muasalnya, dan pada sumpahnya kepada Allah. Inilah mengapa Rasulullah SAW mengingatkan, “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani dan Majusi”. (HR. Bukhari-Muslim).

Semakin hari dunia semakin merenggut perhatiannya. Ia menjadi jatuh cinta pada kehidupan dunia ini. Dalam kesehariannya, seluruh perhatiannya ditujukan untuk dunia. Waktu, pikiran, tenaga dan kemampuan dicurahkan untuk bergelut dengan pekerjaan, hobi, keluarga, harta, perhiasan, jabatan, pendidikan, karir dan seterusnya.

Dalam porsi yang jauh lebih sedikit, barangkali dia masih mengingat Allah. Shalat, puasa, zakat dan haji masih dilaksanakan. Namun itu menjadi tak lebih dari sekedar penggugur kewajiban. bukan sebagai ungkapan cinta dan kerinduan pada Sang Pencipta. Kehidupan panjang di alam ruhani menjadi sejarah yang terlupakan.

Ketika cinta pada kehidupan dunia ini menjalar di sekujur tubuhnya, ia menjadi mabuk. Semua hal yang diinginkannya akan dikejar, bahkan dengan segala cara, meski melanggar aturan-aturan Allah. Hal ini telah diperingatkan Allah dalam firmannya, “Sungguh manusia itu kepada Tuhannya ingkar. Mereka mengakui keingkarannya itu. Kepada harta-benda, cintanya begitu besar”. (QS Al-Adiyat: 6-8).

Inilah kondisi saat manusia menjadikan hawa nafsu menjadi tuhannya. Allah SWT mengingatkan, “Apakah kau pernah lihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai ilah (tuhan). Allah membiarkannya tersesat dalam kesadarannya. Allah telah mengunci pendengaran dan qalbunya, serta menutup pandangannya. Maka siapakah yang mampu menuntunnya ketika Allah sudah menyesatkannya. Tidakkah kalian ingat?” (QS Al-Jatsiyah: 23).

Maka kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ini menjadi teladan agung. Sebagai seorang hamba Allah, Sayyidina Ibrahim mencintai Allah dan sebagai seorang ayat beliau juga mencintai putranya. Ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih putra kesayangannya, dengan tulus dan penuh pengabdian beliau melaksanakannya.


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
______
Rekomendasi